
SALAH satu keberhasilan pemilihan kepala daerah (Pilkada) adalah tingginya tingkat partisipasi pemilih. Di mana dengan tingginya partisipasi pemilih, maka semakin tinggi tingkat legitimasi calon yang terpilih.
Pada Pilkada tahun 2024 lalu, tingkat partisipasi dalam Pemilihan Gubernur diangka 73,12 persen. Jauh dibawah target partisipasi sebanyak 85 persen yang diharapkan oleh PJ Gubernur Jawa Tengah.
Dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah, Kabupaten Brebes menjadi daerah dengan partisipasi terendah, yakni 58,19 persen. Sedangkan yang tertinggi diraih Kabupaten Rembang dengan partisipasi mencapai 88,62 persen.
Selain itu juga minimnya calon yang diajukan oleh partai politik yang ada. Di Jawa Tengah sendiri, rata-rata kabupaten/kota hanya diikuti oleh dua pasang calon. Paling banyak ada di Kabupaten Cilacap dengan 4 pasangan calon. Bahkan tiga kabupaten hanya diikuti oleh calon tunggal, yakni Sukoharjo, Banyumas dan Brebes.
Pada Pemilu legislatif dan presiden lalu, tingkat partisipasi mencapai 82,5 persen. Jika dibandingkan dengan Pilkadanya, maka mengalami penurunan 9 persen lebih. Begitu pula dengan Pilkada di 35 kabupaten/kota yang ada, semuanya turun dengan partisipasi pemilihnya pada Pemilu lalu.
Jika ditarik ke belakang, partisipasi pemilih pada Pilkada Jawa Tengah tahun 2018 tidak berbeda jauh, yakni 73,2 persen. Sedangkan jika ditarik lima tahun lagi, partisipasi pemilih pada Pilkada tahun 2013 hanya 56,15 persen.
Pilgub Jateng 2013 menjadi Pilgub dengan partisipasi paling rendah. Bahkan di tingkat kabupaten bisa lebih rendah lagi, untuk Kabupaten Brebes hanya 44,48 persen. Kemudian jika dibandingkan lagi dengan Pilbup Kabupaten Brebes tahun 2012 partisipasinya 61,03 persen dan pada Pilbup Brebes 2017 partisipasinya 54,70 persen.
Kabupaten Brebes dengan daerah terluas di Jawa Tengah dan pemilih terbanyak, patut mendapat perhatian lebih. Paling tidak perlu dilakukan riset yang lebih mendalam, apa saja faktor dan penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih tersebut. Karena jika dibandingkan dengan Pilkades, rata-rata partisipasi pemilih lebih besar dibandingkan Pemilu dan Pilkada.
Berdasarkan riset kecil yang dilakukan penulis pada tahun 2015, tingginya angka ketidakhadiran pemilih di Kabupaten Brebes bukan karena golput, tidak mau memilih dalam Pemilu maupun Pilkada.
Namun karena faktor lain, yakni karena pada saat Pemilu, yang bersangkutan tidak berada di rumah, namun sedang merantau di luar daerah dan tidak sempat atau keberatan di ongkos untuk pulang kalau hanya sekedar untuk memilih. Bahkan tidak sedikit yang berada di luar negeri, yang bekerja sebagai TKI.
Dalam Pemilu, tingkat partisipasi di Kabupaten Brebes pasti lebih besar dibandingkan dengan Pilkada. Faktor utamanya adalah karena banyaknya calon anggota legislatif, yang berjumlah antara 400-500 calon.
Sedangkan dalam Pilkada, paling banyak di Brebes hanya 4 pasang calon, yakni pada Pilbup 2007. Sedangkan pada Pilbup berikutnya, tahun 2012, 2017 hanya ada dua pasang calon. Bahkan apda tahun 2024 ini hanya ada satu pasangan calon bupati dan wakil bupati.
Banyak atau sedikitnya pasangan calon dalam Pilkada, kiranya cukup mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih. Dari tiga kabupaten yang hanya diikuti oleh calon tunggal, tidaklah terlalu tinggi.
Hanya di Sukoharjo yang partisipasinya lebih tinggi dibandingkan dengan Pilgub Jateng, yakni mencapai 74,30 persen. Sedangkan di Banyumas, partisipasinya hanya 68,95 persen. Kabupaten Brebes yang terendah, hanya dengan 58,19 persen.
Untuk meningkatkan partisipasi pemilih, perlu dilakukan langkah-langkah progresif dari para penyelenggara Pemilu serta peraturan yang ada. Jika hanya mengandalkan cara-cara konvensional yang sudah ada, tidak bakal merubah secara signifikan atas kenaikan partisipasi tersebut.
Cara-cara progresif tersebut yakni antara lain dengan mewajibkan setiap warga negara yang telah memiliki hak pilih untuk memilih. Langkah ini dengan cara mengubah undang-undang, yang selama ini menyatakan bahwa memilih adalah hak.
Kedua, membuat aturan yang lebih mudah bagi pemilih di luar daerah. Tidak hanya sekedar pindah memilih, tetapi memberikan kesempatan untuk menjadi pemilih di mana pun mereka berada. Langkah ini sudah ada contohnya di luar negeri, di mana mereka diberikan kesempatan dengan memberikan hak pilihnya dengan dikirim melalui pos.
Ketika, mengembalikan otonomi daerah kepada partai politik di daerah untuk menentukan dan mengusung pasangan calon dalam Pilkada. Adanya sentralisasi pencalonan di pimpinan pusat partai politik, menjadi persoalan tersendiri bagi partai politik maupun bakal calon yang ingin berkontestasi dalam Pilkada. Mereka akan berpikir, jika hanya mereka yang mempunyai koneksi dengan pusat saja yang bisa maju.